Minggu, 16 Agustus 2009

Ujian Nasional: Cermin Keterpurukan Sistem Pendidikan Kita

Tahukah anda bahwa Ujian Nasional yang selama ini merupakan tradisi tahunan dalam sistem pendidikan kita ternyata merupakan cermin keterpurukan sistem pendidikan di Indonesia? Mari kita tinjau alasannya. Pada Ujian Nasional terdapat beberapa hal yang patut dipertanyakan:

Pertama: Mata pelajaran yang diujikan. Pada Ujian Nasional (UN), mata pelajaran yang diujikan hanya Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA (ditambah Bahasa Inggris bagi UN SMP/SMA/SMK). Nah, pertanyaanya adalah, adilkah jika hanya mata pelajaran tersebut yang diujikan? Di sekolah setiap anak memiliki bakat dan minat yang berbeda. Tentu sangat tidak adil jika mereka mempelajari sangat banyak hal di sekolah dalam kurun waktu yang cukup lama (3 atau 6 tahun) tetapi hanya mata pelajaran tertentu saja yang diujikan dan menentukan kelulusan mereka! Masih baik jika setidaknya seorang anak menaruh minat pada pelajaran-pelajaran tersebut dan akhirnya lulus dengan nilai memuaskan. Tetapi bagaimana dengan anak yang memiliki masalah dengan mata pelajaran tersebut? Lalu ambillah contoh lain, seorang anak memiliki bakat menggambar yang sangat mengagumkan. Sudah banyak lomba ia menangkan dan membuat guru-guru di sekolahnya bangga. Nama sekolahnya juga ia harumkan. Namun di Ujian Nasional ia mengalami 'kegagalan yang berarti'. Kebetulan ia memiliki masalah dengan mata pelajaran yang diujikan. Dan beberapa waktu kemudian, ia dinyatakan tidak lulus. Hancur hatinya diiringi kekecewaan orang tuanya. Bukankah bakat seorang anak disia-siakan? Apakah makna keempat mata pelajaran tersebut dibanding pelajaran lain bagi seorang pelajar sehingga menentukan kelulusan, sekolah selanjutnya dan bahkan pekerjaannya nanti? Mengapa tidak diujikan juga pelajaran lain seperti Kesenian, Pendidikan Agama, Olah Raga, IPS atau pelajaran lain? Mengapa hanya mengujikan pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA, yang kesemuanya adalah pelajaran dominasi otak kiri? Dimanakah peran otak kanan anak-anak kita?

Kedua: Mengapa harus tiga atau empat hari. Seorang siswa di SD akan menempuh pendidikan selama 9 tahun dan itu berlaku bagi semua siswa SD di seantero nusantara. Namun setelah itu, semua siswa akan diujikan apa yang ia pelajari selama tiga hari. Bagaimana jika yang bersangkutan sakit atau berhalangan untuk hadir menjalani ujian tersebut? Memang disediakan ujian susulan, tapi bagaimana jika waktu ujian susulan tersebut dia masih sakit atau urusannya belum selesai? Apalagi jika yang bersangkutan memutuskan untuk tetap hadir dalam keadaan sakit dan tidak berkonsentrasi! Bukankah apa yang ia pelajari menjadi suatu kesia-siaan? Dan lebih parah lagi, tempo tiga hari itu menentukan sekolahnya selanjutnya!

Ketiga: Ujian Nasional mengabaikan aspek-aspek lain seperti perilaku siswa, bakat lain siswa dan mata pelajaran lain yang juga mereka pelajari. Seperti sudah disebutkan diatas, ujian nasional hanya mengujikan tiga atau empat mata pelajaran selama beberapa hari. Padahal aspek-aspek yang diabaikan tersebut tak kalah pentingnya!

Keempat: Pilihan Ganda. Pilihan ganda merupakan cara menjawab yang praktis, mudah diaplikasikan dan juga mudah dipahami. Namun diluar semua manfaat itu, pilihan ganda tersebut merupakan 'cara menjawab' yang cukup buruk. Pertama, tidak semua mata pelajaran bisa mengaplikasikan 'pilihan ganda' sejenis Matematika dan Bahasa (meliputi Bahasa Indonesia dan Inggris). Pada Matematika, apa jawaban siswa tidak penting. Yang penting justru cara menjawabnya atau prosesnya menyelesaikan soal yang diberikan karena hal itu menunjukkan bagaimana pemahaman siswa terhadap pelajaran yang diberikan. Untuk jawabannya, siswa bisa mendapatkannya dengan cara sekedar menebak, mencontek atau menggunakan kalkulator. Untuk pelajaran bahasa, pemahaman siswa tidak bisa sekedar diukur dari teorinya. Aspek pelajaran bahasa yang paling penting justru terletak pada membaca, mendengarkan, menulis dan bercerita! Kedua, pilihan ganda lebih memudahkan untuk menjawab dengan curang. Sebab, pada pilihan ganda, jawaban siswa dideskripsikan dalam bentuk pilihan soal sehingga lebih memungkinkan kecurangan untuk terjadi. Ketiga, pilihan ganda UN membutuhkan keahlian khusus untuk sekedar menjawabnya saja. Pada pilihan ganda UN, diterapkan sistem menjawab dengan mengisi menggunakan pensil. Dan itu tidak semudah mencentang! Keempat, pilihan ganda memungkinkan siswa untuk 'sukses dengan menebak'. Jika kita menebak suatu jawaban karena tidak tahu misalnya, kita memiliki kesempatan 25% untuk benar. Dan persentase tersebut cukup besar! Contohnya seorang siswa kesulitan menjawab lima buah soal. Karena putus asa, ia menjawab dengan asal. Namun kebetulan, kelima jawaban ngawurnya betul! Bukankah selisih nilai dari lima buah soal UN cukup untuk menentukan sekolahnya nanti? Kelima, pada sistem jawaban pilihan ganda UN diterapkan sistem menjawab dengan lembar jawab komputer (LJK) sehingga, kemampuan komputer membaca jawaban siswa juga menjadi faktor penentu. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada lembar jawaban siswa atau komputernya?

Kelima: Bagaimana nasib pelajaran lain. Seorang siswa tidak hanya mempelajari 4 mata pelajaran di sekolahnya. Dia juga akan mempelajari pelajaran lain. Tapi apa gunanya mempelajari pelajaran tersebut jika pada akhirnya yang 'berguna' hanya 4 pelajaran? Bukankah pelajaran selain 4 mata pelajaran tersebut akan menjadi kesia-siaan belaka? Bukankah lebih baik sekolah hanya mengajarkan 4 mata pelajaran saja selama 6 atau 3 tahun pelajaran? Siswa saya jamin akan lebih siap menghadapi Ujian Nasional!

Singkat kata, pada akhirnya sistem pendidikan kita hanyalah sebuah sistem gagal yang pelaksanaannya dipaksakan kepada jutaan anak di Indonesia. Anak-anak Indonesia dengan beraneka bakat dalam diri mereka hanya dijadikan barang mentah dengan sistem pendidikan sebagai perusahaan dan Ujian Nasional sebagai standar mutu. Anak-anak hanya dijadikan produk bernilai guna. Jika ditanyakan apa makna kata-kata diatas, saya jelaskan sebagai berikut: Ketika anak-anak Indonesia memulai hari-hari pertama mereka bersekolah, mereka mulai dididik dan diberi pengarahan agar nantinya siap diberi materi pelajaran. Di hari-hari selanjutnya mereka bersekolah, mereka mulai diberi materi pelajaran. Pada hari-hari terakhir mereka di sekolah, kemampuan mereka diuji. Mereka yang lulus dapat melanjutkan sekolah dan bagi yang tidak lulus harus mengulang lagi proses serupa. Bukankah ini tak ada bedanya dengan sistem produksi dimana bahan mentah pada awalnya dibersihkan agar siap diolah nantinya, diolah dan diproses ditengah-tengah, dan pada akhirnya diuji mutunya? Dan sama-sama yang lulus standar mutu dilanjutkan produksinya dan yang tidak lulus diulang prosesnya bahkan bisa saja dibuang! Kemudian kembali ke sistem pendidikan tadi, yang lulus dengan nilai memuaskan dapat memilih sekolah yang bagus sementara yang lulus dengan nilai tak terlalu memuaskan terpaksa memilih sekolah yang 'tak terlalu dilirik'. Lagi-lagi sama dengan prosedur produksi dimana yang produk bermutu tinggi dapat bebas memenuhi pasar-pasar tertentu, sementara produk mutu rendah harus terpaksa memilih dipasarkan di pasar-pasar yang tak terlalu diharapkan para konsumen. Nah, pertanyaannya disini adalah: Apakah sistem pendidikan kita adalah sistem produksi? Patut disayangkan bahwa sistem pendidikan kita telah disamakan dengan sistem produksi yang berarti menyamakan anak-anak kita dengan barang mentah siap olah. Sistem terpuruk seperti ini tidak bisa selamanya dipertahankan, dan harus diperbaiki secepatnya. Anak-anak bukanlah pemilik otak yang siap diisi program tertentu dan kemudian bekerja menurut program tersebut. Tapi, mereka adalah ibarat sosok dengan bibit tanaman bakat dalam diri mereka dimana kita berkewajiban untuk menyiram dan memupukinya sehingga kelak tumbuh menjadi pohon yang mampu meneduhi bangsa dan memberikan buah terbaik mereka...

Tidak ada komentar: